AKI INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN NEGARA LAIN DI ASIA |
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
globalisasi kita diperhadapkan pada persaingan global yang semakin ketat yang
menuntut kita semua untuk menyiapkan manusia Indonesia yang berkualitas tinggi
sebagai generasi penerus bangsa yang harus disiapkan sebaik mungkin secara
terencana, terpadu dan berkesinambungan. Upaya tersebut haruslah secara
konsisten dilakukan sejak dini yakni sejak janin dalam kandungan, masa bayi dan
balita, masa remaja hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut.
Pelayanan
kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang bertujuan
untuk mewujudkan kesehatan keluarga yang berkualitas.Pelayanan kebidanan adalah
pelayanan yang diberikan oleh bidan sesuai dengan kewenangannya untuk
meningkatkan kesehatan ibu dan anak di keluarga maupun di masyarakat.Dalam
rangka pemberian pelayanan kebidanan pada ibu dan anak di komunitas diperlukan
bidan komunitas yaitu bidan yang bekerja melayani ibu dan anak di suatu wilayah
tertentu.
Komunitas
berasal dari bahasa Latin yaitu “communitas”
yang berarti kesamaan, dan juga “communis”
yang berarti sama, publik ataupun banyak. Dapat diterjemahkan sebagai kelompok
orang yang berada di suatu lokasi/ daerah/ area tertentu (Meilani, Niken dkk,
2009).Menurut Saunders (1991) komunitas adalah tempat atau kumpulan orang atau
sistem sosial.Pelaksanaan pelayanan kebidanan komunitas didasarkan pada empat
konsep utama dalam pelayanan kebidanan yaitu : manusia, masyarakat/ lingkungan,
kesehatan dan pelayanan kebidanan yang mengacu pada konsep paradigma kebidanan
dan paradigma sehat sehingga diharapkan tercapainya taraf kesejahteraan hidup masyarakat (Meilani,
Niken dkk, 2009).
Dalam kebidanan
Komunitas saat ini terdapat issue kesehatan yang menjadi masalah kebidanan di
Komunitas dan menjadi salah satu peran tugas dan tanggung jawab bidan dalam
menangani masalah tersebut. Salah satu issuekesehatan dalam kebidanan komunitas
adalah kematian ibu dan bayi. Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru
lahir dan anak telah menjadi prioritas utama dari pemerintah, bahkan sebelum Millenium Development Goal's 2015
ditetapkan.Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator utama
derajat kesehatan suatu negara.AKI juga mengindikasikan kemampuan dan kualitas
pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan
pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta
hambatan dalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan (www.depkes.go.id).
Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
masih cukup tinggi.Hasil survei SDKI terakhir yaitu pada tahun 2012 terjadi
peningkatan AKI dari 228/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi 359/
100.000 kelahiran hidup. Tingginya angka kematian ibu dapat menunjukkan masih
rendahnya kualitas pelayanan kesehatan.Penurunan AKI juga merupakan indikator
keberhasilan derajat kesehatan suatu wilayah.Untuk itu pemerintah berupaya bahu
membahu membuat berbagai strategi untuk akselerasi menurunkan AKI.
Bidan merupakan
salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis terutama
dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan angka kesakitan dan kematian Bayi
(AKB). Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan
paripurna, berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan
kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama – sama dengan tenaga kesehatan
lainnya untuk senantiasa siap melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan
dan dimanapun dia berada. Untuk menjamin kualitas tersebut diperlukan suatu
standar profesi sebagai acuan untuk melakukan segala tindakan dan asuhan yang
diberikan dalam seluruh aspek pengabdian profesinya kepada individu, keluarga
dan masyarakat, baik dari aspek input, proses dan output.
Berdasarkan
uraian di atas kami tertarik untuk membuat makalah tentang kejadian Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini sebagai salah satu issue kesehatan di
kebidanan komunitas.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini
yaitu :Bagaimankah kejadian Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini
sebagai salah satu issue kesehatan di kebidanan komunitas?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Tujuan Umum
Untuk
mengetahui kejadian Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini sebagai
salah satu issue kesehatan di kebidanan komunitas.
2.
Tujuan Khusus
a. Untuk
mengetahui jumlah Angka kejadian Kematian Ibu (AKI) saat ini sebagai salah satu
issue kesehatan di kebidanan komunitas.
b. Untuk
mengetahui faktor penyebab dari kematian ibu di Indonesia.
D.
Manfaat
Penulisan
1.
Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai
bahan masukan atau informasi bagi tenaga bidan maupun tenaga kesehatan lainnya agar
dapat meningkatkan kualitas pelayanan klien dalam penerapan asuhan kebidanan
sehingga dapat membantu mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia.
2.
Bagi Institusi
Sebagai
acuan yang diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan institusi.
3.
Bagi Penulis
Dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam penerapan asuhan kebidanan yang diberikan kepada ibu
hamil, bersalin, maupun nifas.
|
PEMBAHASAN
Setelah
cukup lama publikasi hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
untuk Angka Kematian Ibu (AKI) diundur pemerintah, akhirnya hasil capaian AKI
diumumkan. Hasilnya sangat mengejutkan.Kematian Ibu melonjak sangat signifikan
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup atau mengembalikan pada kondisi tahun
1997.Ini berarti kesehatan ibu justrumengalami kemunduran selama 15 tahun.Pada
tahun 2007, AKI di Indonesia sebenarnya telah mencapai 228 per 100.000
kelahiran hidup (SDKI, 2012).
Sungguh
mengenaskan, AKI yang sangat tinggi itu artinya Indonesia bahkan jauh lebih
buruk dari Negara – Negara paling miskin di Asia, seperti Timor Leste, Myanmar,
Bangladesh dan Kamboja. Indonesia kini telah berpredikat terbelakang di Asia
dalam melindungi kesehatan Ibu.Darurat kematian ibu ini harus diakhiri dengan
keseriusan perbaikan kebijakan, anggaran dan tindakan segera.
A.
Kemunduran
AKI yang Menyedihkan
6
|
Indonesia
sebelumnya merupakan negara yang agresif melakukan kebijakan Kesehatan Ibu dan
Anak (KIA).Sejak WHO meluncurkan Safe
Motherhood Iniatiative pada tahun 1987, pemerintah Indonesia langsung
merespon agenda WHO dalam kebijakan pembangunan KIA.Indonesia juga merespon
cepat inisiatif pembangunan kependudukan global (International Conference Population and Development/ICPD) yang
pertama kali diadakan di Kairo, Mesir tahun 1994.
Salah satu poin
yang menjadi rujukan bagi pemerintah Indonesia adalah mengenai hak remaja untuk
memperoleh pelayanan reproduksi termasuk juga mendapatkan pelayanan konseling
yang benar. Selama dua dekade 1980 - 2000 Indonesia merupakan negara yang
sukses dalam menata program KIA. Tapi saat ini justru sebaliknya.
Hasil SDKI 2012
menjadi sebuah pelajaran bagi Indonesia bahwa saat ini negara gagal dalam
memberikan perlindungan bagi ibu yang melahirkan.Padahal UUD 1945 memberikan
amanat bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi
seluruh masyarakat. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengamanatkan
pemerintah untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
universal bagi setiap masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan ibu dan
reproduksi.
Pemerintah juga
diamanatkan untuk menyediakan anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN dan 10%
dari APBD diluar gaji pegawai sehingga pemerintah bisa secara optimal
memberikan pelayanan bagi masyarakat tanpa terbatas oleh alokasi anggaran (APBN
Konstitusi Bidang Kesehatan dan Jaminan Sosial Kesehatan, 2014). Ini merupakan
wujud dari kehadiran negara dalam memberi jaminan perlindungan kesehatan bagi
warga negara.Tapi dengan lonjakan AKI yang sangat tinggi ini menunjukan ada
kesalahan kebijakan dalam pengelolaan kesehatan, terutama kesehatan ibu dan
reproduksi.
B.
Angka
Kematian Ibu di Indonesia terburuk dari Negara – negara Miskin di Asia
Indonesia
merupakan negara di kawasan Asia yang mengalami kegagalan dalam pencapaian
target penurunan AKI. Padahal dari baseline MDGs yang dimulai pada tahun 1990,
AKI Indonesia sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan beberapa negara lain di
kawasan Asia. AKI Indonesia pada tahun 1990 sekitar 390 per 100.000 kelahiran
hidup, jauh lebih rendah dibandingkan Kamboja, Myanmar, Nepal, India, Bhutan,
Bangladesh dan Timor Leste.
Ironisnya dengan
data terakhir dari SDKI 2012, terjadi peningkatan AKI sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup. Bandingkan dengan Kamboja yang sudah mencapai 208 per 100.000
kelahiran hidup, Myanmar sebesar 130 per 100.000 kelahiran hidup, Nepal sebesar
193 per 100.000 kelahiran hidup, India sebesar 150 per 100.000 kelahiran hidup,
Bhutan sebesar 250 per 100.000 kelahiran hidup, Bangladesh sebesar 200 per
100.000 kelahiran hidup. Bahkan kini Indonesia sudah tertinggal dengan Timur
Leste dalam pencapaian AKI, dimana AKI Timor Leste mencapai 300 per 100.000
kelahiran hidup (WHO, 2013).
Bila melihat
target MDGs 2015 untuk AKI, target Indonesia adalah menurunkan AKI mencapai 102
per 100.000 kelahiran hidup. Dengan posisi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2012 maka akan sangat sulit bagi pemerintah untuk mencapai target
penurunan AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Melonjaknya AKI tidak terlepas dari kegagalan program Kependudukan dan Keluarga
Berencana (KKB).
C.
Kegagalan
Desain Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB)
Banyak pihak
tersentak melihat fenomena kenaikan AKI ini.Ada sesuatu diluar kewajaran
kenaikan AKI yang mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup.Kementerian
Kesehatan mengindikasikan adanya perubahan dalam metode survey dalam SDKI 2012.
Dimana sampling SDKI 2012 bergeser dari perempuan yang sudah menikah pada SDKI
2007 menjadi Perempuan Usia Subur (PUS) pada SDKI 2012 sehingga ditemukan
peningkatan AKI.
Diluar alasan
metodologi dalam SDKI 2012, sebenarnya peningkatan AKI ini sudah lama
terdeteksi para peneliti kesehatan. Instrumen ukurnya bisa dimulai dari program
KKB. Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 menunjukan lonjakan pertumbuhan penduduk
yang mencapai 1,49%. Tingginya laju pertumbuhan penduduk didorong tingginya Total Fertility Rate (TFR) atau angka
kelahiran total perempuan usia produktif sebesar 2,7 berdasarkan SDKI 2012.
Padahal tahun 2002, Indonesia sudah mencapai TFR sebesar 2,6. Fertilitas remaja
(usia 15 – 19 tahun) juga masih tinggi yaitu sebesar 48 kelahiran per 1.000
remaja (SDKI, 2012).
Tekanan dari
aspek kependudukan inilah yang berkontribusi mendorong terjadinya peningkatan
AKI.Tingginya TFR mendorongpeningkatan jumlah persalinan di Indonesia. Dengan
kondisi tingginya fertilitas pada usia remaja, ini akan menimbulkan kerentanan
terhadap resiko kematian ibu saat melahirkan. Melahirkan dalam usia remaja
dengan pemahaman terhadap kesehatan reproduksi yang relatif minim dan sistem
reproduksi yang masih labil, akan menimbulkan resiko besar terhadap kematian.
Hal ini agaknya menjadi alasan logis kenapa AKI meningkat cukup signifikan dan
menegasikan semua upaya pemerintah untuk menurunkan AKI selama ini.
Kegagalan dalam
desain program KKB dalam satu dekade terakhir merupakan kunci jawaban dari peningkatan
AKI.Koordinasi dalam program KKB baik lintas sektor atau antara pemerintah
pusat dan daerah tidak berjalan dengan baik.Tanggung jawab pengendalian laju
pertumbuhan penduduk diserahkan sepenuhnya pada Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN).
Padahal masalah
KKB tidak berada seratus persen ditangan BKKBN,tetapi juga ada pada Kementerian
Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Pemerintah Daerah. Inilah kendala koordinasi program KKB sehingga
tidak berjalan baik.Pada level daerah, hanya sebagian kecil daerah yang
memiliki Badan Koordinasi Keluarga Berencana Daerah (BKKBD). Padahal BKKBD ini
sebenarnya menjadi ujung tombak dalam program KKB karena daerah menjadi pusat
pelayanan dari program KKB.
D.
Belajar
dari Nepal dan Sri Lanka
Sri Lanka dan
Nepal merupakan dua negara di kawasan Asia yang berhasil mencapai target MDGs 5
yaitu meningkatkan kesehatan ibu. Perlu digarisbawahi bahwa baseline kedua
negara ini saat MDGs diluncurkan sangat berbeda; Sri Lanka telah berhasil
menurunkan angka kematian ibu jauh sebelum tahun 1990, sementara Nepal mencapai
keberhasilan yang dramatis dalam satu setengah dekade terakhir. Namun, pendekatan
kebijakan dan struktur sistem kesehatan kedua negara ini dapat diadaptasi untuk
implementasi di Indonesia (Prakarsa, 2013).
Tahun 1990, AKI
di Sri Lanka sebesar 85 per 100.000 kelahiran hidup dan sekarang AKI di Sri
Lanka sudah mencapai 35 per 100.000 kelahiran hidup. Sri Lanka mampu menurunkan
setengah dari AKI dalam dua dekade terakhir.Sedangkan Nepal mengalami penurunan
yang cukup signifikan yaitu sebesar dua pertiga dari AKI dalam dua dekade
terakhir.Tahun 1990, AKI di Nepal sebesar 770 per 100.000 kelahiran hidup dan
turun menjadi 170 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 (SDKI, 2012).
Kunci
keberhasilan Sri Lanka ada di layanan kesehatan dan proteksi finansial untuk
populasi yang rawan bencara kesehatan.Dari awal perkembangan sistem kesehatan negara
ini, yaitu mulai dari kemerdekaan di awal abad 19, Sri Lanka menargetkan
penyediaan layanan universal termasuk untuk sanitasi dan manajemen penyakit
yang lebih luas.Layanan ini juga menitikberatkan pada layanan ibu dan anak
sejak awal pengembangannya (Arunathilake, I.M, 2012).
Nepal mengambil
langkah yang cukup unik dalam menurunkan AKI.Intervensi melalui program KKB
cukup signifikan mempengaruhi AKI di Nepal. Dalam kurun waktu 10 tahun,
persalinan yang ditolong tenaga kesehatan naik dari 10,1% menjadi 36% dan
persalinan di fasilitas kesehatan naik dari 7,6% menjadi 35,3%. Angka unmet need untuk cesarean section sebanyak 1,3% per tahun selama 5 tahun terakhir.
Meskipun
demikian, angka persalinan oleh tenaga kesehatan dan persalinan di fasilitas
kesehatan masih terbilang rendah. Suksesnya program KKB yang ditandai oleh
meningkatnya persentase pengguna kontrasepsi sampai dua kali lipat dan
menurunnya angka fertilitas dari 2,6 menjadi 1,6 dalam 10 tahun terakhir, ini
yang menjadi salah satu faktor yang berkontribusi kuat pada penurunan AKI
(Bhatta, P,. ett all, 2012).
Satu hal yang
serupa dari pembelajaran Sri Lanka dan Nepal adalah berbagai kebijakan dan
strategi kesehatan yang diluncurkan bersifat saling melengkapi dari segi supply dan demand sehingga terbentuk strategi besar yang komprehensif untuk
mengatasi masalah kesehatan ibu dan reproduksi. Aspek di luar sektor kesehatan
yang berhubungan erat dengan keberhasilan Sri Lanka dan Nepal adalah perbaikan
status ekonomi dan pendidikan sehingga tampak bahwa interaksi faktor kesehatan
dan non – kesehatan sangat penting untuk diperhatikan dalam memperbaiki status
kesehatan secara keseluruhan.
Beberapa poin
pembelajaran yang perlu dipetik dari Sri Lanka dan Nepal untuk pengembangan
sistem kesehatan ibu :
1.
Pentingnya merumuskan kebijakan yang
memiliki unsur equity, artinya
kebijakan harus mengandung upaya untuk menyamaratakan aksesibilitas pelayanan
kesehatan bagi masyarakat, semua warga memperoleh kesempatan yang sama dalam
hal pelayanan kesehatan. Di samping itu, perlu ada kebijakan yang diarahkan
secara khusus kepada warga yang lebih membutuhkan (affirmative health policy). Fondasi kebijakan yang pro kesehatan
dan pro masyarakat juga harus dibangun dengan peta jalan dan tahapan yang
jelas.
2.
Nepal dan Sri Lanka menerapkan konsep evidence-based policy, yaitu untuk
merumuskan kebijakan setelah diperoleh bukti ilmiah yang menunjukkan tingkat
daya-guna strategi yang akan dimasukkan ke dalam kebijakan tersebut. Need assessment merupakan hal yang
mutlak diperlukan sebelum memperkenalkan dan mengimplementasikan
strategi-strategi sehingga menjadi lebih tepat guna dan tepat sasaran.
3.
Layanan kesehatan primer dibangun dengan
mengedepankan upaya kesehatan ibu dan anak, serta untuk mengatasi
penyakit-penyakit lain penyebab kematian ibu dan anak seperti malaria dan
penyakit menular lainnya.
4.
Pentingnya memperkuat kembali program
KKB untuk mengontrol kelahiran merupakan salah satu faktor yang berkontribusi
pada penurunan AKI. Di Sri Lanka dan Nepal terlihat bahwa di kurun waktu 20
tahun terakhir, penurunan angka fertilitas dan peningkatan pengguna kontrasepsi
cukup signifikan, hal ini dapat berpengaruh secara tidak langsung kepada angka
kematian ibu.
5.
Perlunya mengembangkan sistem surveilans (pengumpulan, pengolahan,
analisis dan interpretasi serta penyebaran data secara sistemtis dan
berkelanjutan), monitoring dan evaluasi yang memberdayakan peranan masyarakat
lokal. Registrasi vital dan penelusuran kematian ibu harus disiapkan sejak awal
dan digunakan sebagai alat advokasi. Sistem informasi kesehatanyang dibangun
sejak awal terbukti dapat membantu monitoring program melalui data yang
berkualitas. Sri Lanka dan Nepal berhasil menerapkan sistem ini.
E.
Daerah
sebagai Basis Penurunan AKI
Pada tahun 2001,
Indonesia menganut sistem desentralisasi tata kelola pemerintahan.Kesehatan
merupakan salah satu bidang yang di desentralisasikan.Desentralisasi kesehatan
bertujuan untuk memperkuat sistem pelayanan kesehatan terhadap masyarakat,
dimana daerah merupakan ujung tombak dalam sistem pelayanan
kesehatan.Desentralisasi sektor kesehatan di Indonesia memiliki dampak baik
sekaligus buruk pada pembangunan kesehatan, khususnya pada program penurunan
AKI.Desentralisasi memungkinan propinsi dan kabupaten/kota membuat program
pembangunan kesehatan yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan setempat.
Beberapa
kabupaten di Indonesia telah memiliki regulasi daerah yang spesifik mengatur
tentang penurunan AKI, antara lain Kabupaten Pasuruan di Jawa Timur, Kabupaten
Takalar di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kabupaten Pasuruan menurunkan Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati
(Perbup) dan Peraturan Desa (Perdes) mengenai KIBBLA (Kesehatan Ibu dan Bayi
Baru Lahir) pada tahun 2008, dan berhasil menurunkan berbagai angka indikator
kesehatan ibu, anak dan balita, bahkan mendapatkan MDGsAward pada tahun 2012
dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs.
Kabupaten
Takalar berupaya menurunkan Angka Kematian Ibu dengan mengeluarkan Perda No 2
Tahun 2010 tentang Kemitraan Bidan dan Dukun dan telah mencapai nol angka
kematian ibu, sehingga menjadi daerah percontohan bagi daerah lain. Sementara
itu Kabupaten Kupang, setelah adanya program Revolusi KIA dari pemerintah
provinsi NTT tahun 2009, juga telah mengeluarkan Perbup No16 Tahun 2010 tentang
Percepatan Pelayanan Kesehatan untuk Ibu dan Anak (Pandey, J.P., dkk, 2013).
Ada beberapa
poin kunci sukses ketiga daerah ini dalam menurunkan AKI.Pertama, adanya
inovasi kebijakan yang dilakukan olehpemerintah daerah dalam bentuk
regulasi.Regulasi tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan pemerintah daerah
dalam akselerasi penurunan angka kematian ibu. Kedua, pelibatan seluruh
kelompok masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan sangat mempengaruhi
tingkat keberhasilan implementasi regulasi yang ada. Kebijakan tidak hanya
menjadi sekedar ‘formalitas’ karena hanya didorong oleh pihak eksekutif, namun
dimiliki bersama semua kelompok. Kepemilikan masyarakat atas program menjadi
tinggi sehingga warga selain sebagai penerima manfaat juga dapat berperan
sebagai aktor pembangunan. Ketiga, alokasi anggaran untuk program Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA).
F.
Rekomendasi
Kebijakan
Dalam konteks
menurunkan AKI dan memperbaiki sistem kesehatan ibu dan reproduksi agar target
MDGs dapat dicapai maka diperlukan beberapa kebijakan sebagai berikut:
1.
Pemerintah perlu meningkatkan anggaran
program pembinaan pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi sebesar 3% dari total
anggaran sektor kesehatan dalam APBN 2014.
Saat
ini dalam kebijakan anggaran kesehatan, program pembinaan pelayanan kesehatan
ibu dan reproduksi hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp. 124 Milyar atau
sekitar 0,27 % dari total anggaran sektor kesehatan dalam APBN. Angka ini
sangat kecil bila dibandingkan dengan permasalahan yang dihadapi saat ini
dengan melonjaknya AKI. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran 3% dari total
anggaran sektor kesehatan untuk intervensi program sehingga AKI bisa turun
menjadi 280 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2014 (Prakarsa, 2013).
2.
Revitalisasi program Kependudukan dan
Keluarga Berencana (KKB) di Indonesia.
Kini
saatnya pemerintah melakukan perbaikan dalam desain program KKB.Selama ini
koordinasi kelembagaan dan tata kelola antara pusat-daerah lemah. Perlu ada
perubahan dalam mekanisme tata kelola terhadap program KKB. BKKBD wajib ada
disetiap propinsi dan kabupaten/kota karena inilah yang menjadi ujung tombak
dalam pelaksanaan program KKB. Fungsi anggaran juga harus jelas dan memadai
untuk mendukung program KKB. Selama ini, kebijakan KKB selalu terkendala dengan
minimnya alokasi anggaran. Bukan hanya AKI yang akan tertangani atau karena
fokus MDGs,hal ini merupakan bagian vital dalam desain pembangunan Indonesia ke
depan.
3.
Pemerintah pusat perlu mendorong setiap
pemerintah daerah untuk membuat Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan AKI.
RAD
merupakan implementasi dari Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan AKI yang
dibuat pemerintah pusat untuk mempercepat penurunan AKI paska kenaikan AKI
dalam SDKI 2012.RAD sangat penting dalam implementasi RAN karena daerah
merupakan ujung tombak terhadap penurunan AKI.RAD harus bisa diimplementasikan
dalam agenda pembangunan kesehatan ibu dan anak di daerah. Agar lebih efektif
maka setiap daerah perlu di dorong regulasi bisa berupa Peraturan Daerah,
Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota atau Peraturan Bupati yang penting ada
payung hukumnya seperti yang dilakukan di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Takalar
dan Kabupaten Kupang. Pemerintah pusat dapat melakukan supervisi kepada daerah
baik berupa program asistensi atau transfer anggaran ke daerah dalam rangka
mempercepat penurunan AKI di Indonesia.
|
|
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). 2013. Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Jakarta: BKKBN.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012.
Saputra, Wiko. 2013. APBN Konstitusi Bidang Kesehatan dan Jaminan Sosial Kesehatan 2014.Prakarsa
Working Paper/Public Policy/01/2013.
World Health Organization (WHO). 2013. Maternal Mortality Database in World.
Prakarsa. 2013. Menurunkan
Angka Kematian Ibu dan Anak: Pembelajaran dari Nepal dan Sri Lanka.Prakarsa
Research Report.
Arunathilake, I.M. 2012.Health Changes in Sri Lanka: Benefits of Primary Health Care and Public
Health. Asia-Pacific Journal of Public Health, 24, 663-671.
Bhatta, P,.ett all. 2012. Nepal Demographic and Health Survey 2011.Kathmandu, Nepal, ICF
International Calverton, Maryland, USA.
Pandey, J.P., Dhakal, M.R., Karki, S., Poudel, P.
and Pradhan, M.S. 2013.Maternal and Child
Health in Nepal: The Effects of Caste, Ethnicity, and Regional Identity.Further
analysis of the 2011 Nepal Demographic and Health Survey, Kathmandu, Nepal,
Population Division, Ministry of Health and Population, Government of Nepal.
Prakarsa. 2013. Refleksi
Upaya Pencapaian MDGs 4 dan 5 di Daerah menjelang 2015: Studi Kasus Kebijakan
Penurunan Kematian Ibu dan Anak Baru Lahir di Kabupaten Pasuruan, Takalar dan
Kupang. Prakarsa Research Report.
Prakarsa. 2013. Strategi
dan Program Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia. Prakarsa Policy Paper/Public
Health/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar